Senin, 01 Januari 2018

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUALITAS SANADNYA

BAB I
PENDAHULUAN
A.        Latar belakang Masalah
Hadis atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Quran,  dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk al-Quran semua periwayatan ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai sesuatu yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadis Nabi tingkat keabsahannya masih perlu dikaji ulang, apakah betul-betul dari Nabi atau hanya karangan orang atau golongan tertentu saja.
Hadis memiliki peranan penting dalam menjelaskan setiap ayat-ayat al-Quran yang turun terutama ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat atau ayat yang bersifat normatif dan perlu penjelasan pada tataran operasional, semisal shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Bagaimana seharusnya shalat itu? tidak dijelaskan secara detail, namun hanya bersifat global. Begitu pula ibadah-iabadah yang lainnya. Bagaimana dikerjakan, syarat dan rukunnya apa saja, itu semua dijelaskan melalui hadis nabi Muhammad saw.
Sehingga kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam kedua bagi umat Islam tidak diragukan lagi keabsahannya, karena memang benar-benar bersumber dari Nabi Muhammad saw.
Dalam periwatannya ada hadits yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterima sebagai sebuah hadits atau yang dikenal dengan hadis maqbul (diterima), shahih dan hasan. Namun disisi lain ada pula hadits-hadits yang dalam periwayatannya tidak memenuhi kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadis mardud (ditolak); dhaif atau bahkan ada yang palsu (maudhu’),  hal ini ditemukan setelah adanya upaya   penelitian sanad maupun matan oleh para ulama untuk yang memiliki komitmen  tinggi terhadap sunnah.
Mengapa ada perbedaan tingkat keabsan hadis tersebut, karena memang tingkat integritas dan kredibilitas penerima atau periwayat dari hadits-hadits tersebut juga berbeda. Ada yang rendah, sedang dan tinggi. Itulah salah satu faktor penyebab, mengapa kemudian muncul nama hadis shahih, hasan dan dha’if. Tentunya dari jenis-jenis tingkatan hadits tersebut berimplikasi pada tingkat kehujjahan hadis tersebut sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Berdasarkan pemaparan tersebut, Penulis menyusun makalah ini yang berjudul “Pembagian Hadits dari Segi Kualitas Sanadnya” sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti perkuliahan Ulumul al-Hadits.

B.        Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi bahasan dalam makalah ini sebagai berikut:
1.        Jelaskan pengertian hadits shahih, hasan dan dha’if!
2.        Bagaimana kehujjahan hadits shahih, hasan dan dha’if dalam hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.        Mengetahui pengertian hadits shahih, hasan dan dha’
2.        Mengetahui kehujjahan hadits shahih, hasan dan dha’if dalam hukum Islam.











BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits dari Segi Kualitas Sanadnya
            Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadits  muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
            Pembagian hadits ke dalam tiga kelompok tersebut sebenarnya belum dikenal pada abad pertengahan ketiga Hijriah (yakni masa kehidupan para imam empat madzhab; Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad). Karena pembagian ini muncul pada masa sesudahnya. Imam Ahmad ibn Hanbal hanya membagi hadits atas dua bagian yaitu hadits shahih yang diterima (maqbul) dan hadits dha’if yang ditolak (mardud). Menurut Ibnu Taymiyah, ulama yang membagi hadits menjadi tiga bagian ini mulai diperkenalkan oleh Abu Isa al-Tirmidzi, karena ia banyak meriwayatkan hadits dan memberikan keterangan periwayatan dengan kata (misalnya; shahih, hasan, gharib).[1]
            Lebih rincinya mengenai ketiga jenis pembagian hadits tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
1. Hadits Shahih
a. Pengertian Hadits Shahih
Dari segi bahasa Shahih berarti saqim, yaitu lawan kata dari sakit. Sedangkan dari segi istilahnya, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari sejak awal hingga akhir sanad, tanpa adanya syadz dan illat.

مااتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ و لا علة
Artinya:
“hadist yang sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan berillat”.[2]

b. Syarat-syarat Hadits Shahih
            berdasarkan pengertian dari hadits shahih tersebut, para ahli hadits memberikan penjelasan mengenai kriteria hadits shahih, sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad)
            Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad hadits menerima riwayat riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima langsung dari Rasulullah saw. bersambung dalam periwayatan.
2. Perawinya Adil
            Kata adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur. Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketaqwaan.
3.  Perawinya Dhabit
            Kata dhabit menurut bahasa adalah yang kokoh, kuat, yang hafal dengan sempurna. Seorang perawi dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingatan yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya.
4. Tidak Syadz (janggal)
            Maksud syadz di sini adalah hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat. Hadits yang shahih menunjukkan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang matannya tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat.
5. Tidak ber-illat
            Kata illat menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan atau kesalahan baca. Dengan pengertian ini, maka hadits yang berillat adalah hadits-hadits yang ada cacat atau penyakitnya.[3]
c. Contoh Hadits Shahih
 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك 
Contoh lain dari hadits shahih:
 حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ ")رواه البخاري
Artinya:         
            Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata: telah mengkhabarkan kepadaa kami  Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Math’ami dari ayahnya ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. membaca dalam shalat magrib surah at-Thur (HR. Bukhari).
Analisis terhadap hadits tersebut:
1.      Sanadnya bersambung karena semua rawi dari hadits tersebut mendengar dari gurunya.
2.      Semua rawi pada hadits tersebut dhobit, adapun sifat-sifat para rawi hadits tersebut menurut para ulamaal-jarhu wa ta'dil sebagai berikut :
a)      Abdullah bin yusuf     = tsiqat mutqin.
b)      Malik bin Annas         = imam hafidz
c)      Ibnu Syihab Az-Zuhri   = Ahli fiqih dan Hafidz
d)     Muhammad bin Jubair = Tsiqat.
e)      Jubair bin muth'im      = Shahabat.
3.      Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadits yang lebih kuat serta tidak cacat.[4]




2. Hadits Hasan
a. Pengertian Hadits Hasan
            Hasan menurut bahasa berarti مَا تَشْتَهِيْهِ النَفْسُ وَ تَمِيْلُ اِلَيْهِ (sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu). Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat mendefinisikan hadits hasan ini. Perbedaan pendapat ini disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadits hasan sebagai hadits yang menduduki posisi diantara hadits shahih dan hadits dhaif.
            Menurut at-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih. Sedangkan Ibnu Hajar mendefinisikan hadits hasan sebagai “khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya tanpa ber’illat dan syadz disebut hadits shahih, namun bila kekuatan ingatannya kurang kokoh sempurna) disebut hasan li dzatih.”
            Jadi dari definisi-definisi di atas, dapat dikatakan bahwa hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, hanya saja terdapat perbedaan dalam soal ingatan perawi.

b. Pembagian Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzâtihi dan hasan li-ghairihi;
a.       Hasan Li Dzâtihi
Hadis hasan li-dzâtihi adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang telah ditentukan.


b.      Hasan Li-Ghairihi
Hadits hasan li-ghairihi ialah hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. Dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadits dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan (matan/teks) lain yang menguatkannya (syahid atautâbi’/mutâbi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
c. Syarat-syarat Hadits Hasan
            Secara rinci syarat hadits hasan adalah sebagai berikut:
            1. Sanadnya bersambung
            2. perawinya adil
3. perawinya dhabit, tetapi kualitas ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an perawi hadits shahih
            4. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
            5. Tidak ber’illat.[5]

d. Contoh Hadits Hasan
 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ 
Artinya:
“Berkata Ali ibn Hasan Al Kufiy, berkata Abu Yahya Isma’il ibn Ibrahim At Taimiy, dari Yazid ibn Abi Ziyad, dari Abdurrahim ibn Abi Laila, dari Al Bara’i ibn Ngazib berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Adalah hak bagi orang-orang Muslim mandi di hari Jum’at. Hendaklah mengusap salah seorang mereka dari wangi-wangian keluarganya. Jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian.”
           
3. Hadits Dha’if
a. Pengertian Hadits Dha’if
Dhaif Kata dha’if menurut bahasa bararti lemah, sebagai lawan dari kata kuat. Maka sebutan hadits dha’if dari segi bahasa berarti hadists yang lemah atau hadits yang tidak kuat. Secara istilah, diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dha’if ini. Akan tetapi, pada dasarnya, ini isi dan maksudnya adalah sama.
 ماَ لمْ ىُوْ جَدْ فِىْهِ شُرُ وْطُ الصَّحَّةِ وَلاَ شُرُوْطُ الْحسَنِ 
Artinya : “hadist yang didalamya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadist hasan”.[6]
Menurut Nur al-Din ‘Itr, bahwa definisi yang paling baik ialah:
مَا فَقِرُ شَرْطًا مِنْ شُرُوْطِ الحَدِيْثِ المَقْبُوْلِ
Artinya:
            “Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih atau yang hasan).”
            Berdasarkan definisi Nur al-Din ‘Itr tersebut disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai hadits dhai’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits lemah.


b. Contoh Hadits Dha’if
 مَنْ ناَمَ بَعْدَاْلعَصْرِ فَآجْتَلَسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْ مَنَّ اِلاَّ نَفْسَهُ 
Artinya : “Barangsiapa tidur sesudah ashar kemudian akalnya terganngu maka jamgan menyalakan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri”. [11] 
Hadis ini merupakan hadis dha’if. Karena perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan ada kejanggalan dalam matan. 
4. Kehujjahan Hadits Shahih, Hasan dan Dha’if dalam Hukum Islam
            Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran, kedudukan al-Hadits menjadi sangat penting dalam menjembatani atau menjelaskan berbagai persoalan yang masih bersifat global di dalam al-Quran. Tingkat kehujjahan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran diuraikan sebagai berikut:
a. Kehujjahan Hadits Shahih dalam Hukum Islam
            Para ulama termasuk ahli hadits dan ushul Fiqh yang pendapatnya dapat dijadikan pegangan menyatakan bahwa hadits shahih dapa dijadikan hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawattir. Hadits shahih wajib diamalkan dan dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran.
b. Kehujjahan Hadits Hasan dalam al-Quran
            Meskipun derajat keabsahannya di bawah hadits shahih, namun hadits hasan sebagaimana halnya hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau sebagai pedoman dalam beramal. Para ulama hadits, ushul Fiqh dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.
c. Kehujjahan Hadits Dha’if dalam al-Quran
            Berbeda dengan hadits shahih dan hasan, hadits dha’if yang tingkat derajat keabsahannya diragukan, demikian pula tingkat kehujjahannya atau sebagai dalil hukum juga lemah. Oleh karena itu, mengutip pendapat dari al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani bahwa hadits dha’if dapat digunakan sebagai dalil hukum atau sumber dengan beberapa syarat:
1. Tingkat kedha’ifannya tidak parah
            Menurut para ulama, masih ada di antara hadits dha’if yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah. Hadits yang level kedha’ifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadailul a’mal (keutamaan amal”.
2. Berada di bawah nash lain yang shahih
            Maksudnya, hadits yang dha’if itu apabila ingin dijadikan sebagai dasar dalam fadailul a’mal, harus ada hadit lain yang mendukung dan hadits tersebut harus shahih.
3. Ketika mengamalkan tidak boleh meyakini ke-tsabit­-annya
            Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dha’if itu, kita tidak boleh meyakini sepenuhnya bahwa ini merupakan sabda Rasulullah saw. atau perbuatan beliau. Namun hanya menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah saw.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berpijak dari pemaran dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan :
1.    Yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perawi yang adil, dhabit, sanadnya sambung serta terhindar dari illat dan cacat.
2.    Yang dimaksud dengan hadits hasan adalah hadits yang dalam periwayatannya dilakukan oleh perawi yang adil, dhabit (kurang kuat hafalannya), sanadnya sambung serta terhindar dari illat dan cacat.
3.    Yang dimaksud dengan hadits dhaif adalah hadits yang lemah dari sisi periwayatan dan tidak memenuhi kriteria sebagai yang persyaratkan dalam hadis shahih dan hasan.
4.    Hadits shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri, atau ada rawi lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau sebagai pedoman dalam beramal. Berbeda dengan hadits shahih dan hasan, hadits dhaif yang tingkat derajat keabsahannya diragukan demikian pula tingkat kehujjahannya atau sebagai dalil hukum juga lemah.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon. 2008. Ulumul Hadis. Ahzam: Jakarta.
Ahmad Sutarmaji. 1998. Al Imam Al Tirmidzi, Peranannya dalam Hadis dan Fiqih. Jakarta.
Mahmud Thohan. 1997. Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogyakarta: Titian Ilahi Pres.
Departemen Agama RI. Hadis-Ilmu Hadis.. Jakarta.
http://www.eramuslim.com.
Suparta, Munzier. 2011. “Ilmu Hadis”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mudasir. 1999. “Ilmu Hadis”. Bandung: CV.Pustaka Setia.
Mansur. “Kehujjahan Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif. Blog pribadi Mansur Lombok. http://menzour.blogspot.co.id/2016/11/makalah-kehujjahan-hadis-shahih-hasan.html?m=1.



[1]Munzier Suparta, “Ilmu Hadis” (Cet VII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 126.
[2]Mudasir, “Ilmu Hadis”(Bandung:CV.Pustaka Setia, 1999), hal. 144.
[3]Munzier Suparta, “Ilmu Hadis”, h. 130-133.
[4]Mansur, “Kehujjahan Hadits Shahih, Hasan dan Dhaif”, blog pribadi Mansur Lombok, http://menzour.blogspot.co.id/2016/11/makalah-kehujjahan-hadis-shahih-hasan.html?m=1 (5 November 2017)
[5]Nuruddin ‘Itr, “Ulumul Hadis” (Bandung:PT.Remaja Rosdakarya, 2012), hal.  266.
[6]Mudasir, “Ilmu Hadis”, hal. 156.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Awas! Sosial Media Dapat Memicu Krisis Kepercayaan Diri!

      Dalam kehidupan masyarakat yang akses terhadap sosial media sangat mudah dilakukan dengan smartphone, banyak remaja yang menghabiskan...