Senin, 01 Januari 2018

MAKALAH GENDER

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis “ gender”.
Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah genderitu sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.
Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender.  Pemahaman yang mendalam atas kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara masalah-masalah perempuan  yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam konteks Indonesia. Untuk itulah penulis berinisiatif untuk menulis makalah yang berjudul “Filsafat dan Gender”.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang Penulis angkat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.     Jelaskan pengertian gender!
2.     Jelaskan mengenai hubungan filsafat dan gender!










BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender
            Menuruut Giddens konsep gender menyangkut tentang “ Psycological,  social and  cultural differences between males and females “, yaitu perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Macionis mendefinisikan gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Laswell and Laswell menafsirkan gender sebagai “ The knowledge and awareness, whether concious pr unconcious, that one belong to one sex and not to the other”, yaitu pada pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak bahwa seseorang tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu  dan bukan dalam jenis kelamin lain.[1]
Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[2]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin.[3] Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang. Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
B. Gender dalam Filsafat
Konsep dualis yang berlawanan menjasi tema utama dalam filsafat Yunani. Yang pertama diajukan oleh Anaksimander, teorinya mengatakan bahwa konflik diantara empat unsure yang berlawanan, panas dan dingin, basah dan kering, merupakan daya alami kosmos nafsu. Para teoresi berukutnya menyampaikan detai-detainya, namun tetap mempertahankan teori tentang konflik biner ini. Meski demikian, Phytagoras, Parmenides dan kemudian Aristoteles menginstitusionalisasikan teori mengenai dua seks sebagai sesuatu yang berlawanan.[4]
konsep Plato lebih rumit lagi. Beberapa pandangan pribadinya nampak jelas streotip, ia percaya bahwa laki-laki “lebih bijak” dari pada perempuan, dan bahwa jenis kelamin perempuan umumnya ditandai oleh “kelemahannya dalam menyimpan rahasia dan keahliannya dalam menipu”. Maskulin “mulia dan cenderung berani”, sementara feminism “teratur dan murni”. Untuk mengembangkan teori atas ide-ide ini, yang dilakukan Plato adalah mematahkan cetakan biner tersebut lebih dahulu, seperti ia akui: “kebanyakan perempuan, dan ini benar, lebih baik jika dibandingkan dengan kebanyakan laki-laki dalam banyak hal”. Kedua gender saling bertindihan; keduanya saling berlawanan. Dan kedua, Plato memberikan rekomendasi-rekomendasi radikal suatu system pendidikan dan pelatihan militer umum bagi perempuan dan laki-laki serta pengakuan terhadap hak perempuan agar bisa berjuang sebagai penjaga Negara. Rekomendasi Plato secara keseluruhan dapat mengejutkan masyarakat patrialkal waktu itu, dengan seluruh egalitarianismenya dalam sebuah republic denaan system kasta yang sangat ketat.
Plato juga mengisahkan dua cerita penciptaan: sebuah cerita egalitarian dalam symposium dan sebuah cerita terkenal seksis dalam Timaeus. Pada awalnya, menurut symposium, manusia terdiri dari tiga klamin: laki-laki, perempuan, dan campuran yang secara berurutan diturunkan dari matahari, bumi, dan bulan; bentuknya bulat, punya empat tangan dan empat kaki, dua wajah di satu kepala, dan dua alat klamin, begitu kuat serta arogan sehingga mereka mencoba mengukur tinggi surga dan menggusarkan para dewa. Zeus memutuskan untuk membelahnya, secara harfiah, persis ditengah-tengahnya. Dua bagian ini, masing-masing setengah porsinya memiliki kerinduan satu sama lain, mereka berjalan bersama, membiarkan tangan mereka salang melingkari pasangannya, dan tidak menginginkan yang lebih baik lagi selain bergulingan agar mereka dapat menjadi satu kembali. Kita semua seperti sisi-sisi koin yang dipatahkan, anak-anak menjadi dua sebagai tanda kenang-kenangan, dan kita masing-masing mencarinya yang cocok dengan diri kita.
Cerita dalam Timaeus berbeda. Plato menjelaskan bahwa pada awalnya hanya laki-laki yang tercipta, bagaimana perempuan tercipta. Plato menjelaskan bahwa jika laki-laki hidup dengan baik, maka setelah meninggal ia akan berdiam di dalam binatang tempatnya berasal, dan disana ia akan banya di limpahi dengan banyak berkat dan tempat tinggal yang menyenangkan, namun jika hidupnya jahat ia akan berubah menjadi perempuan dalam masa hidupnya yang kedua, atau dalam kelahiran kembali. Dan jika selama hidupnya perempuan itu berbuat jahat maka setelah ia meninggal ia akan menjadi binatang buas. Perempuan dengan demikian menjadi perantara antara laki-laki dan hewan dalam skala ada; perempuan adalah reinkarnasi dari laki-laki jahat, sebagaimana binatang buas merupakan reinkasrnasi dari perempuan jahat.
C. Teori-teori Gender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup populer.


1.     Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons.[5]
Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar. Dengan pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-tengah masyarakat.[6]
2.     Teori Sosial-Konflik
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat.[7] Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat.
Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat.[8]
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan.
Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya.
3.     Teori Feminisme Liberal
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.[9]
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.
4.     Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan.[10]
Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik dianggap pekerjaan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya.
5.     Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri.[11]         
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.
6.     Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.[12]
Menurut teori ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan masuk  dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Contoh nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya.
7.     Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari ide. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol ide.[13]
Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan.[14]
Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.
Itulah beberapa teori-teori gender yang dapat digunakan untuk memahami berbagai persoalan gender dalam kehidupan kita. Tentu saja masih banyak lagi teori Gender bukanlah kodrat atau ketentuan dari sang pencipta. Misalnya keyakinan bahwa laki-laki itu kuat, kasar dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut dan emosional, bukanlah ketentuan kodrat sang pencipta, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang.










BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Definisi  gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan.
Tidak ada satu pun teori yang khusus digunakan untuk mengkaji permasalahan gender. Teori-teori yang dikembangkan untuk gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama teori-teori sosiologi dan teori psikologi. Teoriteori dimaksud adalah Teori Struktural-Fungsional, Teori Sosial-Konflik, Teori Feminisme Liberal, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Feminisme Radikal, Teori Ekofeminisme, dan Teori Psikoanalisa.











DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997




[1]Verdiane, “Makalah Gender”, blog probadi Verdiane https://www.google.co.id/amp/s/sepydiscovery.wordpress.com/2012/12/04/makalah-gender/amp/
               [2]Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender: Kodrat Perempuan dalam Islam” (Jakarta: Dian Rakyat, 1999) h. 34.
[3]John M Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia” (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1983) h. 517.
[4]Tony Wicaksono, “Filsafat Gender”, blog pribadi Tony Wicaksono https://tonywicaksono.blogspot.co.id/2008/11/filsafat-gender.html?m=1
[5]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” (Bandung: Mizan, 1999), h. 56.
[6] Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender: Kodrat Perempuan dalam Islam” , h. 53.
[7]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” , h. 56. 
[8]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” , h. 81.  
[9]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” , h. 228.  
[10]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” , h. 225.  
[11]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” , h. 228.  
[12]Ratna Megawangi, “Membiarkan Berbeda” , h. 189  
[13]Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender: Kodrat Perempuan dalam Islam”, h. 46.  
[14] Nasaruddin Umar, “Argumen Kesetaraan Gender: Kodrat Perempuan dalam Islam”, h. 41.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Awas! Sosial Media Dapat Memicu Krisis Kepercayaan Diri!

      Dalam kehidupan masyarakat yang akses terhadap sosial media sangat mudah dilakukan dengan smartphone, banyak remaja yang menghabiskan...