BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak dua
dasawarsa terakhir, diskursus gender sudah mulai ramai
dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai
penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang
tentang pemikiran gerakan feminisme yang berlandaskan pada analisis
“ gender”.
Berbagai kajian
tentang perempuan digelar, di kampus-kampus, dalam berbagai seminar,
tulisan-tulisan di media massa, diskusi-diskusi, berbagai penelitian dan
sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan
ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi wanita pun
menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan
kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan
dengan menggunakan perspektif yang baru.
Namun ironisnya,
di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan
yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan
sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum laki-laki yang
merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari
ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah genderitu
sendiri dan apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.
Bertolak dari
fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu
sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara konsep seks (jenis
kelamin) dengan konsep gender. Pemahaman yang mendalam atas
kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan
menghindarkan kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang
tindih antara masalah-masalah perempuan yang muncul karena perbedaan
akibat seks dan masalah-masalah perempuan yang muncul akibat
hubungan gender, disamping itu juga untuk memudahkan pemahaman atas
konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke dalam
konteks Indonesia. Untuk itulah penulis berinisiatif untuk menulis makalah yang
berjudul “Filsafat dan Gender”.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang Penulis angkat pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Jelaskan
pengertian gender!
2.
Jelaskan
mengenai hubungan filsafat dan gender!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Gender
Menuruut Giddens konsep gender menyangkut tentang “ Psycological,
social and cultural differences between males and females “, yaitu
perbedaan psikologis, sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan.
Macionis mendefinisikan gender sebagai “ the significance a society attaches to
biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan
masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Laswell and Laswell
menafsirkan gender sebagai “ The knowledge and awareness, whether concious pr
unconcious, that one belong to one sex and not to the other”, yaitu pada
pengetahuan dan kesadaran, baik secara sadar ataupun tidak bahwa seseorang
tergolong dalam suatu jenis kelamin tertentu dan bukan dalam jenis
kelamin lain.[1]
Gender sering
diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis
kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat
Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ Kata ‘gender’
bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
dalam hal nilai dan perilaku
Secara
terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan. Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh
Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya. Gender bisa juga dijadikan sebagai
konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Lebih tegas
lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.[2]
Dari beberapa
definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan
dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi,
serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun
secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin.[3]
Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi
sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia
dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih
menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti
kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses
yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan
Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat
diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan
gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan
seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender
dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan
sektor-sektor publik lainnya. Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan
hidup, dan kebebasan gerak seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan
seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan
bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang
akan menjadi apa nantinya.
B. Gender dalam Filsafat
Konsep dualis yang berlawanan menjasi tema
utama dalam filsafat Yunani. Yang pertama diajukan oleh Anaksimander, teorinya
mengatakan bahwa konflik diantara empat unsure yang berlawanan, panas dan
dingin, basah dan kering, merupakan daya alami kosmos nafsu. Para teoresi
berukutnya menyampaikan detai-detainya, namun tetap mempertahankan teori
tentang konflik biner ini. Meski demikian, Phytagoras, Parmenides dan kemudian
Aristoteles menginstitusionalisasikan teori mengenai dua seks sebagai sesuatu yang
berlawanan.[4]
konsep Plato lebih rumit lagi. Beberapa
pandangan pribadinya nampak jelas streotip, ia percaya bahwa laki-laki “lebih
bijak” dari pada perempuan, dan bahwa jenis kelamin perempuan umumnya ditandai
oleh “kelemahannya dalam menyimpan rahasia dan keahliannya dalam menipu”.
Maskulin “mulia dan cenderung berani”, sementara feminism “teratur dan murni”.
Untuk mengembangkan teori atas ide-ide ini, yang dilakukan Plato adalah
mematahkan cetakan biner tersebut lebih dahulu, seperti ia akui: “kebanyakan
perempuan, dan ini benar, lebih baik jika dibandingkan dengan kebanyakan
laki-laki dalam banyak hal”. Kedua gender saling bertindihan; keduanya saling
berlawanan. Dan kedua, Plato memberikan rekomendasi-rekomendasi radikal suatu
system pendidikan dan pelatihan militer umum bagi perempuan dan laki-laki serta
pengakuan terhadap hak perempuan agar bisa berjuang sebagai penjaga Negara.
Rekomendasi Plato secara keseluruhan dapat mengejutkan masyarakat patrialkal
waktu itu, dengan seluruh egalitarianismenya dalam sebuah republic denaan
system kasta yang sangat ketat.
Plato juga mengisahkan dua cerita penciptaan:
sebuah cerita egalitarian dalam symposium dan sebuah cerita terkenal seksis
dalam Timaeus. Pada awalnya, menurut symposium, manusia terdiri dari tiga klamin:
laki-laki, perempuan, dan campuran yang secara berurutan diturunkan dari
matahari, bumi, dan bulan; bentuknya bulat, punya empat tangan dan empat kaki,
dua wajah di satu kepala, dan dua alat klamin, begitu kuat serta arogan
sehingga mereka mencoba mengukur tinggi surga dan menggusarkan para dewa. Zeus
memutuskan untuk membelahnya, secara harfiah, persis ditengah-tengahnya. Dua
bagian ini, masing-masing setengah porsinya memiliki kerinduan satu sama lain,
mereka berjalan bersama, membiarkan tangan mereka salang melingkari
pasangannya, dan tidak menginginkan yang lebih baik lagi selain bergulingan
agar mereka dapat menjadi satu kembali. Kita semua seperti sisi-sisi koin yang
dipatahkan, anak-anak menjadi dua sebagai tanda kenang-kenangan, dan kita masing-masing
mencarinya yang cocok dengan diri kita.
Cerita
dalam Timaeus berbeda. Plato menjelaskan bahwa pada awalnya hanya laki-laki
yang tercipta, bagaimana perempuan tercipta. Plato menjelaskan bahwa jika
laki-laki hidup dengan baik, maka setelah meninggal ia akan berdiam di dalam
binatang tempatnya berasal, dan disana ia akan banya di limpahi dengan banyak
berkat dan tempat tinggal yang menyenangkan, namun jika hidupnya jahat ia akan
berubah menjadi perempuan dalam masa hidupnya yang kedua, atau dalam kelahiran
kembali. Dan jika selama hidupnya perempuan itu berbuat jahat maka setelah ia
meninggal ia akan menjadi binatang buas. Perempuan dengan demikian menjadi
perantara antara laki-laki dan hewan dalam skala ada; perempuan adalah
reinkarnasi dari laki-laki jahat, sebagaimana binatang buas merupakan
reinkasrnasi dari perempuan jahat.
C. Teori-teori
Gender
Secara khusus
tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori yang
digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang
dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan
permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena
itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak
diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang
dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan
masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang
dianggap penting dan cukup populer.
1.
Teori Struktural-Fungsional
Teori atau
pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan
dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu
masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini
mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,
mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi
unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori
ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F.
Ogburn dan Talcott Parsons.[5]
Teori
struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial.
Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan
menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur
sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota
yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan
ada yang menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai
tujuan organisasi, bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam
sebuah organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan
nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat. Talcott Parsons dan Bales menilai
bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar. Dengan pembagian
kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika
terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan
keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila
tradisi peran gender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Teori
struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena dianggap
membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis kelamin.
Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam
urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori
ini akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey
menilai teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender
di tengah-tengah masyarakat.[6]
2.
Teori Sosial-Konflik
Menurut
Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal
distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan
menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang
menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar
individu pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau
masyarakat.[7]
Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori
Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian
dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan
dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh
perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa
dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan
laki-lakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan
borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain,
ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan,
tetapi karena konstruksi masyarakat.
Teori ini
selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R.
Dahrendorf, dan Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori
sosial-konflik, atau teori diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan
asumsi yang mendasari teori struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi
sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola relasi yang ada
sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi atau sekelompok orang.
Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis menghasilkan konflik;
2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua sistem sosial; 3)
konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas,
terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan
dalam masyarakat.[8]
Menurut Engels,
perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki terhadap
produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan.
Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah
hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan mempunyai
korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan.
Keluarga, menurut teori ini, bukan
sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat
sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang menganggap bahwa keragaman
biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang operatif.
Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya,
sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan
sosialis institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah
keluarga dan agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality
(kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender,
yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang
menciptakannya.
3.
Teori Feminisme Liberal
Teori ini
berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.
Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh
antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan
(distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ
reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.[9]
Teori kelompok
ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini
menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran,
termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok
jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang
bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.
4.
Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini
bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan
gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan
kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan
kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada
kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’
yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan
rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan.[10]
Teori ini juga
tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx
dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik.
Pekerjaan domistik dianggap pekerjaan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan
publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk dari
pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak
ditempati, dan lain-lain. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan
melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis
sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor
domistik yang dikerjakannya.
5.
Teori Feminisme Radikal
Teori ini
berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an. Meskipun
teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih
memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem
patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi
laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung
membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri,
bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow
mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi
laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley selanjutnya
memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan
mandiri.[11]
Karena
keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari
kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis
liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara
laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri.
Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi
oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.
6.
Teori Ekofeminisme
Teori
ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia
yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang dengan
tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme modern
berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh
lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori
ekofeminisme melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk
yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.[12]
Menurut teori
ini, apa yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang
tadinya didominasi oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas
femininnya, tetapi justeru menjadi male clone (tiruan laki-laki) dan
masuk dalam perangkap sistem maskulin yang hierarkhis. Masuknya perempuan
ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan peradaban modern semakin
dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Contoh nyata dari cerminan memudarnya
kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan) dalam masyarakat adalah
semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya solidaritas
sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya.
7.
Teori Psikoanalisa
Teori ini
pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Teori ini mengungkapkan bahwa
perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh
perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di
atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut
Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan
sifat-sifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang
memberikan kekuatan terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup
rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari ide. Ego berusaha
mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas
sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu
mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol ide.[13]
Menurut Freud
kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat dirubah. Pada
tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada saat
mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan
erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada
tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan
perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi sosial
berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan.[14]
Pada tahap
phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap ibunya
dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya sebagai
saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari
ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya
sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak
memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa
sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan
ibunya sebagai objek irihati.
Itulah beberapa
teori-teori gender yang dapat digunakan untuk memahami berbagai persoalan
gender dalam kehidupan kita. Tentu saja masih banyak lagi teori Gender bukanlah
kodrat atau ketentuan dari sang pencipta. Misalnya keyakinan bahwa laki-laki
itu kuat, kasar dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut dan emosional,
bukanlah ketentuan kodrat sang pencipta, melainkan hasil sosialisasi melalui
sejarah yang panjang.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Definisi
gender sebagai “ the significance a society attaches to biological cathegories
of female and male”, yaitu arti penting yang diberikan masyarakat pada kategori
biologis laki-laki dan perempuan.
Tidak ada satu pun teori yang khusus digunakan untuk
mengkaji permasalahan gender. Teori-teori yang dikembangkan untuk gender ini
diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang
yang terkait dengan permasalahan gender, terutama teori-teori sosiologi dan
teori psikologi. Teoriteori dimaksud adalah Teori Struktural-Fungsional, Teori
Sosial-Konflik, Teori Feminisme Liberal, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori
Feminisme Radikal, Teori Ekofeminisme, dan Teori Psikoanalisa.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour,
DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997
Ibrahim, Idi Subandy
dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998
Illich, Ivan. Matinya
Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Saptari, Ratna dan
Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
[1]Verdiane, “Makalah
Gender”, blog probadi Verdiane https://www.google.co.id/amp/s/sepydiscovery.wordpress.com/2012/12/04/makalah-gender/amp/
[3]John M Echols
dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia” (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1983) h. 517.
[4]Tony Wicaksono,
“Filsafat Gender”, blog pribadi Tony Wicaksono
https://tonywicaksono.blogspot.co.id/2008/11/filsafat-gender.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar